Minggu, 15 September 2013

Datang Terlambat

Share it Please

"Aku hanya ingkari kata hatiku saja, tetapi mengapa kini cinta datang terlambat." -Maudy Ayunda, Cinta Datang Terlambat

"Maukah kau sekali lagi meyatakan perasaanmu?"

Ia menggeleng. Sementara aku pun menggeleng dengan arti berbeda, aku tak percaya.
"Ini tak masuk akal, terakhir kali aku menolakmu bulan lalu, kau masih bilang akan membuatku jatuh hati." Kataku dengan nada sesal di akhir kalimat. Susah payah aku mengumpulkan keberanian dan membunuh gengsi  demi pertanyaan ini.

"Semua ini masuk akal, hanya saja manusia seringkali mendewa-dewakan otak hingga merasa bahwa pemikiran tak punya batas." katanya menatap lurus menyapu pandang  lalu-lalang orang-orang ber-almameter didepannya. Ia bukan lagi seorang yang senyum hangatnya mampu merubah pagiku yang lembab sekalipun. Kemana perginya sosok yang setiap hari menyapaku dengan senyum lebar dan salah tingkah.

"Tapi aku belum percaya kau berfikiran begitu" aku menyerahkan punggungku pada bangku taman. Kami tak saling menatap, hanya bertukar suara, aku berpasrah di ujung kanan, dan ia mematung di ujung kiri.
"Kau sama halnya seperti manusia purba yang menganggap roket adalah tahayul. Hanya masalah wak.."
"Maka dari itu berilah aku sebuah teori untuk memahaminya!" Desakku, aku menunggu mulutnya berkata biarpun aku belum sanggup menerima... atau mungkin aku belum sanggup kehilangan.

"Teori itu sebenarnya amat mudah, ini tentang apa yang ada pada dirimu. Karena yang kau lakukan, membuatku semakin berfikir lebih realistis, bagaimana ak.."
"Berhentilah menjadi orang asing, berhentilah bercanda.." Kataku lirih kali ini aku merasakan ia menatapku begitu tajam, tapi aku terlalu resah bahkan untuk memalingkan wajah sekalipun.
"Seperti yang kau katakan barusan, apa kau kira setelah bertahun-tahun dan puluhan surat cinta, kau kira aku tak serius?" Aku menggeleng.

"Bukan itu, hanya  saja aku masih ragu." dia mendengus dan tertawa pendek.
"Sayangnya  keraguan itu baru datang padaku, bukannya jauh jauh hari. Kupikir tak cukup berharga memperjuangkan orang yang tak mengaggap kita berharga dimatanya, bukan?" aku benar-benar membuang muka sekarang, padanya dan kenyataan.
"Tapi itu dulu, kini aku sudah terlalu terbiasa dengan seringaimu setiap pagi..."
"Kau hanya terbiasa tak lebih." katanya pendek, cepat, dan tepat menancap di ulu hati.
"Kalau begitu apa yang bisa membuatmu tak lagi berpikir seperti itu?" tanyaku cepat, aku benci harus menanyakan hal ini tetapi hati memaksaku melakukannya.
"Entahlah."

"Haruskah aku mengulangi kata-katamu bulan lalu? Haruskah aku membuatmu jatuh hati padaku?"
"Kurasa tak akan berhasil." aku tertawa.
"Kau sama halnya seperti manusia purba yang menganggap roket adalah tahayul. Hanya masalah waktu"

Tidak ada komentar: