"Bagaimanapun rumit dan rapi perasaanmu disembunyikan, tujuannya masih sama dan cuma satu : untuk ditemukan."
Manusia itu menuntun sepedanya, seperti seorang anak dan bapak mereka yang tak dapat dielak kemiripannya, diantara keduanya tak ada yang lebih kaku.
Aku baik-baik saja setiap ia melewatiku dibalik jendela kaca, ia melintas dengan tenang di dalam pikirku juga di antara dinding dan tiang di koridor, tak kurang merasa rendah diri para dinding dan tiang mendapati seorang manusia lebih kaku daripadanya.
Kaki itu menunda langkahnya, tepat di depan papan mading. Jantungku berlipat cepat detakannya saat mata itu menyapu baris huruf dalam kertas memo yang kutempel tepat di bawah puisinya, inilah caraku mengucapkan selamat ulang tahun padamu, kuharap kamu mulai terbiasa, karena aku tidak mengenal cara yang lain lagi selain bersembunyi.
Kaki itu menunda langkahnya, tepat di depan papan mading. Jantungku berlipat cepat detakannya saat mata itu menyapu baris huruf dalam kertas memo yang kutempel tepat di bawah puisinya, inilah caraku mengucapkan selamat ulang tahun padamu, kuharap kamu mulai terbiasa, karena aku tidak mengenal cara yang lain lagi selain bersembunyi.
Selamat ulang tahun
Senang bisa melihatmu bertambah umur dan kedewasan
Baik-baiklah selalu
R.
Aku, Vin, Grace, dan Mimi, kami berjalan beriringan, tak hirau kalau jalan ini bukan milik kami berempat, kami hanya sedang tertawa dan segala disekitar jadi tak nampak menarik. Bersama mereka aku jadi melupakan langit mendung di atas kepala, gumpal awan hitam itu cemburu karena biasanya aku banyak menatapnya. Buat asap, debu, dan kejengahan menunggu angkutan aku tak lagi punya cukup waktu untuk mengutuki, karena aku ada di tengah-tengah para pembunuh kebosanan.
"Kamu beneran gak ikut, Ri? udah mau ujan lho." Grace menatap cemas pada mendung dan aku secara bergantian. Aku menggeleng lagi. Mobil dengan tiga penumpang lengkap dengan sopir pribadinya itu berlalu bersamaan dengan awan hitam yang luruh menjadi hujan. Untung nenek tak pernah lupa memasukan satu botol minum dan sebuah payung lipat kedalam tasku.
Berhadapan dengan genangan air di lubang-lubang trotoar, aku mulai lagi akrab dengan keluh-kesah. Ah, sejak kapan lubang trotoar menjadi selebar ini. Sejak kapan halte ini memiliki atap yang bocor. Ah, sejak kapan pula angkutan kota semakin lelet dat..sejak kapan dia berdiri diujung sana!
Manusia itu, berdiri selurus tiang halte merah disebelahnya, sepedanya disandarkan pada sebuah pohon kurus, matanya menatap sebal hujan, aku tau dia benci hujan bahkan hampir dia ceritakan di banyak cerpennya. Aku juga tau dia tak mungkin membawa payung, karena baginya membawa payung sama dengan mengharap hujan akan datang, dan aku juga tau kenapa ia tak pernah lagi memiliki keberanian untuk menerobos hujan dan ini bukan kuketahui dari banyak tulisannya yang telah kubaca, itu karena... dia tidak suka basah kuyup. Jangan tanya dari mana aku tau, untuk seorang yang lama bersembunyi dan mengamati tentu itu terlalu gampang untuk diketahui.
Aku selalu merasa iri pada setiap perempuan yang bisa menuliskan surat cinta untuknnya, mengaguminya dengan jujur dan memuji-muji si patung es itu. Semua itu tidak kumiliki, keberanian dan kejujuran cuma bunga tidur yang membuatku semakin pengecut kala terbangun.
Hujan ini, halte ini, mereka menjebakku, dan aku tidak akan keberatan sama sekali andaikan sendirian terjebak disini, setidaknya tidak bersama seorang yang pandangan matanya paling kuhindari di dunia ini. Mata itu bukan saja menumbuhkan kegugupan luar biasa, tapi aku lebih takut jika debaran ini mulai lagi mengacau akal sehat.
"Angkutan baru akan datang 2 jam lagi setelah demonstrasi usai pukul 4 sore nanti."
Suara itu bahkan tak lebih hangat dari aroma hujan.
Aku mengangguk lemas dengan detak jantung mulai kacau. Berpuluh-puluh kali suara itu terus diputar dalam otakku dan hujan tetap belum juga reda.
Aku menghabiskan dua jam ini dengan mengikuti perpindahan jarum jam di tanganku. Entah dengan seorang diujung sana. Aku terlalu sibuk untuk mencoba menjadi biasanya, menutupi kegugupan, dan menggali akal sehat. Tiba-tiba saja deru knalpot angkutan serasa menjadi suara paling merdu di dunia bagai suara gemericik air di tengah padang tandus. Ia muncul dengan anggun dari tikungan sana dan tak tertahan aku berdiri senang untuk menyambutnya. Tepat pukul empat sore seperti katanya tadi..seperti katanya
Untuk terakhir kalinya aku tak bisa menahan lagi untuk tidak memandangnya, ah ternyata ia tertidur menyandar pada tiang merah disampingnya. Ah, untunglah mata yang paling kuhindari itu tengah terlelap. Kulipat lagi payungku,
Pakailah ini untuk pulang dan jangan sakit.
(MADING MINGGU KE- 4 BULAN JUNI)
(Bersambung...)
Manusia itu, berdiri selurus tiang halte merah disebelahnya, sepedanya disandarkan pada sebuah pohon kurus, matanya menatap sebal hujan, aku tau dia benci hujan bahkan hampir dia ceritakan di banyak cerpennya. Aku juga tau dia tak mungkin membawa payung, karena baginya membawa payung sama dengan mengharap hujan akan datang, dan aku juga tau kenapa ia tak pernah lagi memiliki keberanian untuk menerobos hujan dan ini bukan kuketahui dari banyak tulisannya yang telah kubaca, itu karena... dia tidak suka basah kuyup. Jangan tanya dari mana aku tau, untuk seorang yang lama bersembunyi dan mengamati tentu itu terlalu gampang untuk diketahui.
Aku selalu merasa iri pada setiap perempuan yang bisa menuliskan surat cinta untuknnya, mengaguminya dengan jujur dan memuji-muji si patung es itu. Semua itu tidak kumiliki, keberanian dan kejujuran cuma bunga tidur yang membuatku semakin pengecut kala terbangun.
Hujan ini, halte ini, mereka menjebakku, dan aku tidak akan keberatan sama sekali andaikan sendirian terjebak disini, setidaknya tidak bersama seorang yang pandangan matanya paling kuhindari di dunia ini. Mata itu bukan saja menumbuhkan kegugupan luar biasa, tapi aku lebih takut jika debaran ini mulai lagi mengacau akal sehat.
"Angkutan baru akan datang 2 jam lagi setelah demonstrasi usai pukul 4 sore nanti."
Suara itu bahkan tak lebih hangat dari aroma hujan.
Aku mengangguk lemas dengan detak jantung mulai kacau. Berpuluh-puluh kali suara itu terus diputar dalam otakku dan hujan tetap belum juga reda.
Aku menghabiskan dua jam ini dengan mengikuti perpindahan jarum jam di tanganku. Entah dengan seorang diujung sana. Aku terlalu sibuk untuk mencoba menjadi biasanya, menutupi kegugupan, dan menggali akal sehat. Tiba-tiba saja deru knalpot angkutan serasa menjadi suara paling merdu di dunia bagai suara gemericik air di tengah padang tandus. Ia muncul dengan anggun dari tikungan sana dan tak tertahan aku berdiri senang untuk menyambutnya. Tepat pukul empat sore seperti katanya tadi..seperti katanya
Untuk terakhir kalinya aku tak bisa menahan lagi untuk tidak memandangnya, ah ternyata ia tertidur menyandar pada tiang merah disampingnya. Ah, untunglah mata yang paling kuhindari itu tengah terlelap. Kulipat lagi payungku,
Pakailah ini untuk pulang dan jangan sakit.
(MADING MINGGU KE- 4 BULAN JUNI)
Potongan Kecil Kertas Memo(Ares Satriya)
Tahun pertama potongan kecil kertas memo di hari ulang tahun.
Orang pelit macam apa yang memberi doa dengan kertas sekecil ini, batinku. Lalu kukantongi ia dan kutempel sembarang dipojok meja belajar.
Tahun Kedua.
Ah ini memo yang kudapat seperti tahun lalu, ujarku. Kulepas perlahan perekatnya kemudian kubaca sekali, kubaca dua kali, tiga kali. Kini sepasang memo kecil ada di pojok meja belajarku.
Tahun ketiga.
Memo ini lagi, orang ini lagi, tulisan yang sama. Kubaca sekali, dua kali, tiga kali, empat kali. Dan kelimanya adalah senyuman.
Tahun keempat.
Aku datang pagi-pagi sekali. Yang kulakukan adalah mencoba mendahului sepotong memo di hari ulang tahunku sendiri. Namun pagi itu...ternyata tak seorang pun mendekat pada papan mading itu. Ada datang sedikit kecewa. Aku menunggunya di istirahat pertama dan kedua. Baru kutau usai pulang sekolah, ah sial, kembali aku telah didahului sepotong memo. Tapi kenyataannya aku malah tersenyum dan merasa lega.
Tahun kelima.
Malamnya, kupandangi lama empat memo berjejer dipojok meja. Sudah lama aku hidup dengan rasa penasaran. Haruskah aku menunggu tahun depan, depan, dan depannya lagi. Akankah kembali aku didahului sepotong memo?
Paginya.
Ingin segera aku melewati papan mading dan menemukan sepotong memo disana. Akankah kembali aku didahului sepotong memo? tenyata pagi itu menjawab iya. Kembali aku berfikir tentang papan mading dan tahun depan yang begitu jauh. Aku cuma penasaran dan ternyata menyiksa.
Siangnya.
Terimakasih untuk hadiah yang sudah lama kutunggu-tunggu : nama pada payung lipatmu. Mana mungkin aku tak mengenal bentuk huruf dalam tulisan ini.
Sekali lagi terimakasih, untukmu, memo, dan payung.
(Bersambung...)
4 komentar:
Lanjutannya mana ?!
Bagian ke-3 masih diproses nih, Hehe.
Posting Komentar