Sabtu, 24 Agustus 2013

Kopi Dingin Pukul Enam Pagi

Share it Please
Kami keluar dari minimarket ber-Ac dengan satu kantong kresek berisi dua kaleng kopi dingin. Entah mulai kapan ritual kami dimulai, mulai dari membuaka gerbang  kost masing-masing tepat pukul enam pagi, duduk di depan bangku panjang menghadap trotoar di depan minimarket sambil menyeruput kopi dan menertawakan apa saja di atas jalanan yang masih basah aspalnya. Dulu kami hanyalah dua orang yang kebetulan tempat kostnya saling berhadapan sampai  kami tau kalau kami menyukai merk kopi yang sama, yang cuma dijual oleh minimarket ini. lama kelamaan kami hafal sebuah kebetulan : bertabrakan saat akan membuka pintu minimarket yang bertuliskan dorong sangat besar dan dua kaleng kopi itu mulai dimasukan dalam satu kantong kresek yang sama.


"Lihat bibirmu, belepotan." katanya sambil menenggak satu kaleng kopi yang serupa dengan milikku. kujilati bagian bawah bibirku tanpa rasa dosa lalu mengelapnya dengan dasi di leherku. "dasar" katanya lagi, kemudian mendecak. Tangannya mengeluarkan satu lembar sapu tangan hijau lumut dari sakunya dan mengelapnya kasar ke bagian atas bibirku, seolah-olah aku balita berumur empat tahun yang bandel. Aku mematung tepat saat jari-jarinya yang dingin mendarat dikulit wajahku yang tengah memanas. mata kami juga saling bertemu tapi ia mengumpan balik pandanganku dengan ledakan tawa. Jauh dari romantis, bahkan mungkin dia lupa aku ini seorang gadis 17 tahun. Tiba-tiba aku ingin diam, menetralisir rasa berdebar-debar itu. sebenarnya aku benci merasakan ini, tapi kembali lagi bahwa perihal yang paling ingin kita benci justru sesuatu yang amat dicintai.
***
Pagi itu seperti biasanya kami beriringingan keluar dari minimarket kecil di persimpangan jalan dengan satu kantong kresek putih berisi dua kaleng kopi, tapi dengan merk lainnya karena kopi dengan merk kesukaan kami sudah habis stoknya. aku berceloteh seperti biasanya menertawakan apa saja, tapi aku tak mendengar tawanya pagi ini. Aku menengok, ia diam tampak kesal dan bosan, kopi itu hanya diminumnya tak sampai seperempat bagian. lalu bangkit berdiri meningalkannya sendirian di sampingku  setelah berkata "kopiya tidak enak". Aku tetap duduk, ditemani kenyataan dan ngilu di ulu hati, ia hanya mencintai kopinya, bukan obrolan ini, bukan kebiasaan ini, apalagi aku.

Aku menyeruput lagi, kopi ini terasa lebih dingin.

kuletakan tangannku ke kursi besi panjang, juga terasa dingin.

Pagi ini dingin, dan nasib juga demikian, seolah bersikap dingin padaku.

"Mulai besok aku akan membuka gerbang lebih pagi."

Tidak ada komentar: