Jumat, 19 Juli 2013

Kisah Pemakan Leker

Share it Please
"Ini bukan tentang seberapa besar sebuah perasaan, melainkan tentang seberapa mudah ia tumbuh kembali"


Rana meremas ponselnya. Bukan karena SMS  balasan untuknya belum juga datang. Tapi ia bingung, kenapa karena satu pesan singkat dari teman lama yang bertanya kabar bisa menjadi sebab ia merasa begitu bahagia. Ia memasrahkan puggungnya  pada bangku taman, menarik nafas panjang dan melepaskannya berat. ternyata selama ini aku hanya memendamnya, bukan behasil menguburnya. Perasaan ini masih sama seperti ketika untuk pertama kalinya pipinya terasa panas kala membalas senyum itu.

-Andai dulu dan sekarang dapat saling membedakan
Rana pernah merasakan jatuh cinta dan itu dulu. dulu sekali. Ketika seragamya masih perpaduan antara rok merah dan atasan putih. Waktu itu tasnya masih bergambar barbie berambut emas, potongan rambutnya mirip dora, dan jajan kesukaannya masih leker rasa keju, sama seperti jajan kesukaan Nopa. Biasanya kalau Nopa tak punya uang Rana biasa membagi separuh lekernya untuk Nopa, Nopa juga sebaliknya jika Rana sudah habis uang jajannya. Mereka paling suka memakan leker yang masih panas itu di bawah pohon jambu dengan mencuilnya sedikit-sedikit  dari bagian tepi agar kejunya dimakan belakangan.

Tapi waktu berjalan sambil menanam satu per satu benih kedewasaan. Ia membawa perasaan yang tadinya tak ada menjadi ada, ketika itu tasnya tak lagi bergambar barbie atau pokemon rambutnya sudah sebahu dan di sisir rapi dengan poni menutupi alis, dan jajan kesukanya tetap masih leker rasa keju. Setiap pulang sekolah Rana dan Nopa masih suka mengantri bersama demi satu lapis leker hangat rasa keju. Nopa yang mengantri dan Rana yang membawakan tas Nopa ke bawah pohon jambu. Sejak saat itu semilir angin di bawah pohon jambu terasa lebih sejuk baginya, sampai hati Rana merasa tak tenang setiap sepasang matanya memperhatikan sosok yang ia kenal yang sedang mengantri di samping gerobak penjual leker sambil memengang dua lembar uang seribuan yang ia kipas-kipaskan karena kepanasan menunggu selapis leker yang masih di penggorengan. Nopa cuma memamerkan barisan giginya setiap kali ia mengira sedang di awasi oleh sesosok vampir pemakan leker keju.

"Apa kita masih bisa makan leker bersama lagi? memangnya di SMP ada penjual leker?" tanyanya dengan muka sedih, entah karena akan berpisah dengan Rana atau penjual leker, yang jelas mereka baru keluar  dari ruang ujian lalu menyambangi geobak leker dan tiba-tiba muncul rasa tidak rela jika harus kehilangan selapis leker yang ada lelehan keju di dalamnya setelah mereka lulus.
"Aku kira masih bisa, kalau sore aku  melihat kakaku latihan basket di SMP-nya  dan aku sering lihat gerobak leker ini di depan pintu gerbang sekolahnya." kata Rana sambil melahap potongan terakhir leker kejunya.
"Ohya?" Wajah Nopa kembali bersinar seperti piring baru dicuci. kemudian merdup lagi.
"Memang nilaiku cukup untuk masuk sekolah sebagus itu?" kedua tangannya memegang lemas selapis leker yang hampir dingin sambil memandang rumput yang bergoyang teratur. haruskah  kau sesedih itu karena selapis leker? sementara aku, kebersamaan ini mungkin yang akan lebih kurindukan  Waktu telah membawa prasangka itu kepada sebuah jawaban yaitu takdir.

Nopa, Rana, dan penjual leker keju kini hidup masing-masing. Nopa: kini melanjutkan sekolah di luar kota dan pikirannya selalu diracuni akan rindunya pada leker dan Rana, Rana : tak lagi makan leker karena selalu teringat Nopa, dan penjual leker: kehilangan dua pelanggan tetapnya.

-Pernah yang belum berakhir
Rana masih mengelap keringatnya dengan handuk sambil sebelah tangannya menegak minuman isotonik. sampai bunyi dering panggilan masuk dari ponselnya  memaksa tangannya berhenti mengelap keringat. Ia raih ponselnya di balik bola basket orens. Tertera sebuah nama di layar yang memicu lengkungan senyum di wajahnya. refleks ibu jarinya langsung menekan accept dan suara yang melegakan hati itu mengalun dari sana.
"Cepat keluar sekarang, ayo pergi ke bawah pohon jambu!" kata Nopa
"maksutmu.... keluar?"Alis Rana yang tertutup poni saling bertemu. apa mungkin...ah mana mungkin.
Ia menempelkan kembali ponselnya ke telinga. Sampai sebuah teriakan sampai di teinganya..."Ranaa!"tapi bukan dari ponselnya, melainkan dari arah gerbang. Senyum keduanya tak terbendung saat rindunya mereka masing-masing saling menemukan penawar..

Sosok yang jadi tuan atas rindu Rana itu kini sedang berdiri di sebelah gerobak leker dengan dua bungkus leker di sebelah tangannya..dan berani jamin pasti rasa keju.
Rasa ini hanya tentang 'ada'
Kadang aku hanyalah pena yang kering akan tinta
Kadang aku adalah gerimis pagi yang bersambut pelangi

Tidak ada komentar: