"SEPASANG KAOS KAKI"
"Bertahanlah untuk orang yang kau sayangi dan untuk orang yang menyayangimu"
"Untukku."
Detik itu bagai sebuah pertromak, pipi Shelyn memanas. Senyumnya tertahan, segera ia memalingkan wajah dan tersenyum pada tiang halte yang kaku tak berekspresi. Sementara Sanip sudah salah tingkah celingak-celinguk berharap detik itu ada pintu angkutan kota di depannya yang membawanya pergi dari situ. Mungkin kalau ada lumpur hisap di hadapannya ia akan merasa sangat bersyukur, sayangnya ia ada di halte di depan jalan raya, bukan hutan belantara.
"Aku juga menyayangimu, Sanip." Lengkungan senyum melebar di wajah Shelyn. Waktu serasa berhenti, dua orang mematung di bawah atap halte dengan senyum merekah dan cahaya dari dua pasang mata saling bertautan saling mengadu tentang perasaan yang tak terkatakan.
"Apakah kau menyayangiku,." Sanip mengangkat alisnya, ia menunggu jawaban.
"Aku barusan mengatakannya!" Shelyn mencubit lengan Sanip keras. Sanip tak mengaduh, matanya masih menunggu jawaban. Shelyn melepaskan cubitannya, mata itu lumayan tajam menusuk hatinya. Ia tau saat itu hatinya berdesir, tapi jauh di dalamnya, di dalam hatinya ia tak bisa memilih, kalau ia harus memutuskan, berarti ia harus membohongi perasaanya.
"Kau bisa dapat yang lebih baik, Sanip" Hanya sekedar itu yang dapat ia katakan. Ia sudah membohongi mau hatinya.
"Kau tak akan menukar apapun yang cocok denganmu, sekalipun lebih baik. iyakan?" ia menatap ke depan. Kosong, menembus apapun di hadapannya.
"Aku tak mengerti." Ia berbohong. Shelyn menatap lurus ke depan sejajar dengan tatapan Sanip. Ia ingin pembicaraan ini selesai atau bumi segera menelannya sekarang, tapi keduanya tak terjadi.
"Kau mengerti. Kau tau kau yang aku inginkan untuk bersamaku.Cukup kau, tak ada yang lebih baik, karena.. karena bila bersamamu segalanya akan terasa baik."
Diam. Shelyn tak menjawab, suara angin tak menjawab, aspal jalanan yang basah karena sisa hujan semalam.. ia juga tak menjawab
"Aku tak ingin ditakdirkan menjadi kalung yang dapat memilih ribuan liotin berlian untuk dipasangkan"
Diam. Ada jeda panjang diantara mereka untuk mencoba bernafas dengan teratur. Keduanya masih menatap sejajar. Dengan isi hati dan kepala yang sama, hanya saja Shelyn tak membiarkan mulutnya menerjemahkan hatinya dengan benar.
"Lalu? seperti apakah kau ingin ditakdirkan?" Shelyn menunduk menjatukan pandangan kepada sepasang sepatunya, memandang layu kepada sepatu yang tak mengerti perasaannya. Sanip membuang nafasnya yang tiba-tiba terasa berat. Siap tak siap ia merasa harus mengatakannya dan cepat atau lambat Shelyn memang harus tau perasaan Sanip.Perlahan matanya tertuju pada wajah yang sedang menunduk itu.
"Aku... Aku, hanya ingin menjadi sebelah bagian kaos kaki dan kau sebelah bagiannya lagi, dengan itu kita tak akan terpisahkan dan selalu melangkah berdampingan."
Dengan susah payah ia menyelesaikan perkataanya. Tangannya terasa dingin bukan main. Shelyn mengangkat wajahnya, ada cahaya yang sama dalam mata mereka juga dinding di antara keduanya. Dan dinding tetaplah dinding, Ia tak akan runtuh hanya oleh kuatnya sorot mata
"Bertahanlah untuk orang yang kau sayangi dan untuk orang yang menyayangimu"
"Untukku."
Detik itu bagai sebuah pertromak, pipi Shelyn memanas. Senyumnya tertahan, segera ia memalingkan wajah dan tersenyum pada tiang halte yang kaku tak berekspresi. Sementara Sanip sudah salah tingkah celingak-celinguk berharap detik itu ada pintu angkutan kota di depannya yang membawanya pergi dari situ. Mungkin kalau ada lumpur hisap di hadapannya ia akan merasa sangat bersyukur, sayangnya ia ada di halte di depan jalan raya, bukan hutan belantara.
"Aku juga menyayangimu, Sanip." Lengkungan senyum melebar di wajah Shelyn. Waktu serasa berhenti, dua orang mematung di bawah atap halte dengan senyum merekah dan cahaya dari dua pasang mata saling bertautan saling mengadu tentang perasaan yang tak terkatakan.
"Apakah kau menyayangiku,." Sanip mengangkat alisnya, ia menunggu jawaban.
"Aku barusan mengatakannya!" Shelyn mencubit lengan Sanip keras. Sanip tak mengaduh, matanya masih menunggu jawaban. Shelyn melepaskan cubitannya, mata itu lumayan tajam menusuk hatinya. Ia tau saat itu hatinya berdesir, tapi jauh di dalamnya, di dalam hatinya ia tak bisa memilih, kalau ia harus memutuskan, berarti ia harus membohongi perasaanya.
"Kau bisa dapat yang lebih baik, Sanip" Hanya sekedar itu yang dapat ia katakan. Ia sudah membohongi mau hatinya.
"Kau tak akan menukar apapun yang cocok denganmu, sekalipun lebih baik. iyakan?" ia menatap ke depan. Kosong, menembus apapun di hadapannya.
"Aku tak mengerti." Ia berbohong. Shelyn menatap lurus ke depan sejajar dengan tatapan Sanip. Ia ingin pembicaraan ini selesai atau bumi segera menelannya sekarang, tapi keduanya tak terjadi.
"Kau mengerti. Kau tau kau yang aku inginkan untuk bersamaku.Cukup kau, tak ada yang lebih baik, karena.. karena bila bersamamu segalanya akan terasa baik."
Diam. Shelyn tak menjawab, suara angin tak menjawab, aspal jalanan yang basah karena sisa hujan semalam.. ia juga tak menjawab
"Aku tak ingin ditakdirkan menjadi kalung yang dapat memilih ribuan liotin berlian untuk dipasangkan"
Diam. Ada jeda panjang diantara mereka untuk mencoba bernafas dengan teratur. Keduanya masih menatap sejajar. Dengan isi hati dan kepala yang sama, hanya saja Shelyn tak membiarkan mulutnya menerjemahkan hatinya dengan benar.
"Lalu? seperti apakah kau ingin ditakdirkan?" Shelyn menunduk menjatukan pandangan kepada sepasang sepatunya, memandang layu kepada sepatu yang tak mengerti perasaannya. Sanip membuang nafasnya yang tiba-tiba terasa berat. Siap tak siap ia merasa harus mengatakannya dan cepat atau lambat Shelyn memang harus tau perasaan Sanip.Perlahan matanya tertuju pada wajah yang sedang menunduk itu.
"Aku... Aku, hanya ingin menjadi sebelah bagian kaos kaki dan kau sebelah bagiannya lagi, dengan itu kita tak akan terpisahkan dan selalu melangkah berdampingan."
Dengan susah payah ia menyelesaikan perkataanya. Tangannya terasa dingin bukan main. Shelyn mengangkat wajahnya, ada cahaya yang sama dalam mata mereka juga dinding di antara keduanya. Dan dinding tetaplah dinding, Ia tak akan runtuh hanya oleh kuatnya sorot mata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar