"AKAR"
Bahu Sanip yang kokoh bagi Shelyn adalah tempatnya menumpahkan bebannya selama ini, setiap kali sisi kepalanya menyerah pada bahu Sanip, bagai keajaiban, angin seperti menelisik ke kalbunya.. menenangkan dan menggelitik. Ia bukan tak sadar dengan hatinya yang berdesir halus setiap kali di dekat Sanip, juga soal tatapan Sanip, mereka jelas punya cara menatap yang sama. Tatapan mata dari ilustrasi kata sayang yang masih menggantung di tenggorokan.
Pagi itu Sanip tak banyak bicara. Hatinya mendung, perasaan itu masih menggumpal-gumpal di hatinya. Sepedih apapun perasaannya tak boleh ada seguratpun kemuraman di wajahnya. Ia harus kuat untuk dirinya sendiri dan menguatkan hati gadis di sebelahnya.
"Aku bosan hidup" lirih bisikan itu keluar dari mulut Shelyn.
Sanip masih duduk pada posisinnya, masih dengan bahu basah oleh air mata. Tangan kirinya mencabut satu tanaman bunga di pingiran halte. Ia mengibas-ngibaskan tanah yang menggantung pada akarnya. Shelyn memekik pelan saat butir-butir tanah itu mengotori sepatunya yang baru di semir. Sanip tak tertawa hanya menyeringai tanggung.
"Akar ini biarpun kotor, berada di bawah, dan dipendam di dalam tanah yang gelap, tapi akan tetap berusaha menjadi kuat agar batang ini, daun ini, bunga ini terus hidup."
Shelyn kembali ke posisi duduknnya. Mengangkat alisnya. Memandangi pria di hadapannya dengan tatapan tak mengerti. Sanip balas menatap, tatapannya jauh menembus ke dalam mata Shelyn. Satu tarikan napas berat mengawali perkataanya.
"Bertahanlah untuk orang yang kau sayangi dan untuk orang yang menyayangimu"
"Untukku."
Bahu Sanip yang kokoh bagi Shelyn adalah tempatnya menumpahkan bebannya selama ini, setiap kali sisi kepalanya menyerah pada bahu Sanip, bagai keajaiban, angin seperti menelisik ke kalbunya.. menenangkan dan menggelitik. Ia bukan tak sadar dengan hatinya yang berdesir halus setiap kali di dekat Sanip, juga soal tatapan Sanip, mereka jelas punya cara menatap yang sama. Tatapan mata dari ilustrasi kata sayang yang masih menggantung di tenggorokan.
Pagi itu Sanip tak banyak bicara. Hatinya mendung, perasaan itu masih menggumpal-gumpal di hatinya. Sepedih apapun perasaannya tak boleh ada seguratpun kemuraman di wajahnya. Ia harus kuat untuk dirinya sendiri dan menguatkan hati gadis di sebelahnya.
"Aku bosan hidup" lirih bisikan itu keluar dari mulut Shelyn.
Sanip masih duduk pada posisinnya, masih dengan bahu basah oleh air mata. Tangan kirinya mencabut satu tanaman bunga di pingiran halte. Ia mengibas-ngibaskan tanah yang menggantung pada akarnya. Shelyn memekik pelan saat butir-butir tanah itu mengotori sepatunya yang baru di semir. Sanip tak tertawa hanya menyeringai tanggung.
"Akar ini biarpun kotor, berada di bawah, dan dipendam di dalam tanah yang gelap, tapi akan tetap berusaha menjadi kuat agar batang ini, daun ini, bunga ini terus hidup."
Shelyn kembali ke posisi duduknnya. Mengangkat alisnya. Memandangi pria di hadapannya dengan tatapan tak mengerti. Sanip balas menatap, tatapannya jauh menembus ke dalam mata Shelyn. Satu tarikan napas berat mengawali perkataanya.
"Bertahanlah untuk orang yang kau sayangi dan untuk orang yang menyayangimu"
"Untukku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar